RIWAYAT SINGKAT DESA SINDANGSARI
Winangkit
Kertining Mukti
(Sumber
cerita dari : D.Soemintadiredja)
Kecamatan
Luragung
Kabupaten
Kuningan
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar
BAB
I - PENDAHULUAN
BAB
II - ASAL-USUL DESA SINDANGSA
BAB
III - RIWAYAT SINGKAT MAKAM TUA SEKITAR DESA
BAB
IV - SILSILAH KUWU YANG PERNAH MEMERINTAH DESA
BAB
V - PENUTUP
KATA PENGANTAR
Latar belakang penyusunan
buku ‘’Riwayat Desa Sindangsari ‘’ ini adalah merespon
instruksi Bupati Kuningan sehubungan dengan persiapan pelaksanaan
undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, bahwa
setiap desa diharuskan membukukan Riwayat Desa dan memiliki Logo Desa
masing-masing.
Sebagai sumber
penyusunan buku Riwayat ini digunakan data/cerita dibawah ini:
- Administrasi pertanahan zaman penjajahan Belanda yang masih tersimpan di Kantor Kepala Desa.
- Kain Tirai Penutup Jenajah ketika dimandikan, inventaris ‘’Perkumpulan Kematian Kampung Cikadu Kulon’’
- Makam-makam tua sepanjang pinggir Sungai Cibangka..
- Tutur cerita beberapa sepuh Desa.
Saran dan kritik dari para
ahli dan mereka yang mengetahui liku-liku desa ini sangat kami
nantikan, guna penyempurnaan buku Riwayat Desa ini.
BAB I
PENDAHULUAN
Proses terbentuknya
Desa Sindangsari secara singkat kurang lebih sebagai berikut :
- Cikal bakal perkampungan merupakan sebuah pedusunan di sekeliling ‘’kubangan cileuncang’’, terdiri dari 8 buah rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, terletak disebelah utara.
- Setelah Kubangan berubah menjadi daratan yang dapat dihuni orang, pedusunan dinamai Dusun Kubangsari’’ dan kemudian dijadikan Pusat Pemerintahan Daerah Kedemangan mencakup daerah Cikadu Kulon, Cipetir, Ilahar, Dukuh picung, dan Wilanagara. ‘’Kubang’’ artinya Danau kecil, sementara ‘’Sari’’ artinya Lumpur bawaan Cileuncang.
- Semenjak Kademangan ditiadakan, Pusat Pemerintahan dipindahkan ke Cikadu Kulon, ‘’Cikadu’’ berasal dari Cikaldu artinya air lumpur sungai.
- Selanjutnya Kampung Cikadu Kulon digabung ke Wilanagara.
- Akhirnya kampung Cikadu Kulon memisahkan diri
dan namanya diganti menjadi desa ‘’Sindangsari’’
Menurut
seorang tokoh terkemuka yakni Bapak Sualpi Suminta Atmaja almarhum,
nama Sindangsari diambil dari duakata yaitu ‘’Sindang’’ yang
berarti istirahat ‘’Sari’’ artinya rasa senang. Maksudnya
yaitu ‘’Pemukiman yang Menyenangkan’’.
BAB II
ASAL-USUL
DESA SINDANGSARI
(Sumber
cerita dari : D.Soemintadiredja)
A.
RIWAYAT PERKAMPUNGAN
Dahulu kala disebelah Barat Laut Sindangsari terdapat
sebuah Kubangan penuh dengan ‘’cileuncang’’. Warna air
kubangan tersebut merah-merah bata, karena air hujan yang menggenang
di kubangan membawa lumpur tanah merah. Alkisah disekeliling kubangan
membawa terdapat 8 buah rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga.
Ditempat inilah yang boleh dianggap sebagai cikal bakal pedusunan.
Lama kelamaan kubanangan mengering karena dipenuhi lumpur yang
mengendap sedikit demi sedikit, dan berubah menjadi daratan. Setelah
daratan dihuni oleh manusia, terbentuklah pedusunan yang kemudian
hari dinamakan ‘’Kubangsari’’ oleh Buyut Jakerti.
Sementara
itu sungai Cibangka yang semula mengalir ke arah Utara , Berubah ke
arah sebelah Timur, mungkin karena daerah Kubangan posisinya jadi
lebih tinggi. Ketika aliran sungai terbelok, aliran air tertahan
mengakibatkan Lumpur yang dibawa air sungai banyak mengendap
disebelah selatan kubangsari, yang secara Evolusi membentuk daratan
yang dihuni oleh manusia sehingga terjadilah perkampungan yang
dinamakan ‘’Cikadu Kulon’’ oleh Demang Jakerti.
B.
RIWAYAT PEMERINTAHAN
Buyut Jakerti diangkat Demang oleh Pengeran Cirebon
Girang yakni Pengeran WALANG SUNGSANG alias CAKRA BUANA untuk
memerintah wilayah Cikadu Kulon, Cipetir, Ilahar, Dukuh Picung dan
Wilanagara. Kubangsari dijadikan tempat Domisili beliau dan sebagai
Pusat Pemerintahan.
- Kademangan Kubangsari berlangsung lebih kurang 80 tahun, dalam 2 periode pemerintahan, yakni masa pemerintahan DEMANG JAKERTI (lk 40th) dan masa pemerintahan DEMANG KERTI JAYA (adik Demang Jakerti, lk 40th).
- Setelah Kedemangan Kubangsari ditiadakan maka Pusat Pemerintahan dipindahkan ke Kampung Cikadu Kulon oleh Kuwu MASDIAN, beliau diperintah oleh Pengeran Cirebon Girang untuk meng-islamkan penduduk Kubangsari. Sejak itu Kubangsari berstatus Dusun Centilan dari Cikadu kulon.
- Pemerintah Kampung Cikadu Kulon berlangsung selama lebih kurang 150 tahun dalam 4 periode, yakni KUWU MASDIAN, KUWU KASDIAN, KUWU SAJONG, terakhir KUWU SAJIMUN.
- Selanjutnya Cikadu kulon (sekarang sindangsari) digabung menjadi centilan Wilanagara yang berlangsung selama 21 tahun dalam 3 periode, yakni KUWU SULADIMERTA alias KUWU SAPIAN, KUWU SASMITA ATMAJA, KUWU RAKSA DIMERTA, dan terakhir KUWU HANAP.
- Akhirnya semenjak Tahun 1945 Cikadu Kulon memisahkan diri dari Wilanagara dan nama Cikadu Kulon diganti menjadi ‘’SINDANGSARI’’ sedangkan Kubangsari cukup disebut ‘’DUSUN KUBANG’’.
- Kuwu yang menjadi Kepala Desa Pertama adalah
Kuwu DJAIS SOEMINTADIRJA, kemudian berturut-turut diganti oleh kuwu
MOH.SOHRAJI, kuwu DARUM Al DJANA, kueu UJER SUHARTONO, dan terakhir
dihitung mulai tahun 2000 adalah TARJU Al MUHTAR.
BAB
III
RIWAYAT
SINGKAT MAKAM-MAKAM TUA DI SEKITAR KAWASAN DESA SINDANGSARI
( Sumber
cerita : D.Soemintadredja )
A.
Kisah Makam-Makam :
Sudimampir, Cenggeh, Jatilima, Pasi Ipis, dan Sawah Mulud.
Di pinggir sungai sepanjang hulu sungai sampai muara
Sungai Cibangka yang mengalir disebelah selatan Desa Sindangsari
terdapat Lima buah Makam kuno yang dianggap keramat dan angker oleh
Penduduk Desa Sindangsari.
Menurut
cerita orang-orang tua yang mengetahui kisah kejadiannya, bahwa
makam-makam kuno itu adalah Pekuburan bagian-bagian tubuh Jenazah
Kyai Akramudin yang dihianati oleh Demang Lebakwangi dan dibunuh
secara keji oleh jagoan-jagoan suruhan Demang Lebakwangi.
Diterangkan dalam kisah itu, bahwa Kyai Akramudin adalah
seorang Kyai sakti berasal dari Kerajaan Mataram. Beliau mendapat
tugas dari Pengeran Cirebon Girang, yakni Pengeran Walang sungsang
alias Cakra Buana untuk mengawasi dan menjaga daerah perbatasan
Lebakwangi dan Luragung. Mengingat pada waktu itu penduduk Lebakwangi
telah memeluk agama Islam, sedangkan penduduk Luragung masih menganut
kepercayaan nenek moyang. Oleh karena itu kyai Akramudin bermukim
disuatu tempat di perbatasan Lebakwangi dan Luragung disebuah warung
,sekarang di sebut warung lame.
Kisah tentang Kyai Akramudin Pada
waktu itu Kyai Akramudin diminta bantuan oleh Demang Lebakwangi untuk
menangkap dan membunuh seekor harimau yang sering mengganas dan
menerkam penduduk dipinggir hutan Lebakwangi Tenggara,
Semula
Kyai menolak permintaan itu karena dianggapnya menganiaya hewan tidak
dibenarkan dalam prinsip agama Islam. Namun karena desakan penduduk
yang sudah panik ketakutan, akhirnya Kyai pun pergi mencari sang
harimau dipinggir hutan lebakwangi.
Anehnya ketika harimau ganas tersebut didekati oleh
Kyai, sang harimau tidak menampakan keganasannya melainkan jinak
menurut saja dituntun oleh Kyai sambil mengebas-ngebaskan ekornya.
Karena menurut anggapan Kyai, harimau itu tidak ganas maka sang
harimau dilepaskan lagi ke dalam hutan oleh kyai akramudin. Penduduk
pun panik dan ketakutan dan tidak berani keluar rumah. Segera Ki
Demang Lebakwangi pun meminta kembali kepada kyai agar harimau
ditangkap kembali.
Kyai menyanggupi permintaan demang lebakwangi, namun
kali ini mengajukan syarat kepada Demang Lebakwangi agar daerah
Dukuhrudin, Bojong dan Tarikolot diserahkan kepadanya. Semula
persyaratan itu di tolak oleh Ki Demang, namun akhirnya disetujui
asalkan harimau segera ditangkap dan diserahkan kepadanya.
Setelah
harimau tertangkap dengan serentak harimau dibunuh dengan
beramai-ramai oleh penduduk Lebakwangi. Ketika Kyai menagih janji,
Demang Lebakwangi menghianati dengan cara menyuruh beberapa jagoan
untuk mencegat kyai diperjalanan dan membunuhnya.
Namun
kyai sulit dibunuh karena kyai “tidak mempan golok’’, bukan
tubuh kyai yang luka tetapai golok yang patah-patah dan remuk.
Akhirnya karena Kyai merasa bosan disiksa maka beliau meminta agar
dirinya dijala dan diseret-seret, barulah kyai menemui ajalnya.
Jenazahnya dipotong-potong menjadi beberapa bagian
disebuah hulu sungai, yang kelak dikemudian hari tempat itu dinamai
‘’CACABAN’’ ( dicacagan atau dipotong-potong ).
Potongan-potongan jenazah dihanyutkan ke sungai Cibangka ( air
bangkai ) yang mengalir melalui daerah kubangan selatan dan
berangsur-angsur di ketemukan oleh Penduduk Kubangsari dan dimakamkan
dibeberapa tempat sesuai dengan saat deketemukan, yakni :
- Kepalanya dimakamkan disebuah bukit yang kemudian disebut ‘’ Lamping Sudimapir ‘’ ( artinya : mulai beristirahat )
- Tubuhnya terdiri dari bagian leher hingga lutut dimakamkan dipinggir sungai Cibangka dibawah pohon ‘’kiara reunghas’’ yang kemudian disebut ‘’ Astana Cenggeh ‘’ ( artinya : cabang dua ).
- Tangannya yang berupa jari dimakamkan disebuah bukit landai yang kemudian disebut ‘’ Lamping Jati Lima ‘’ ( artinya : Jari Lima ).
- Kakinya berupa betis dimakamkan disebuah bukit landai, yang kemudian disebut ‘’ Pasir Ipis ‘’ ( artinya : Tempat mengubur betis ).
- Kitab Suci Al-Qur’an yang dibawa kyai
terdampar di pesawahan yang kemudian disebut ‘’ Sawah Mulud ‘’
( sekarang berbentuk daratan ).
Makam-makam Kyai Akramudin tersebut dianggap angker dan
keramat oleh Penduduk Sindangsari. Mereka percaya bahwa jika ada
orang Lebakwangi bertapa di Astana Cenggeh, sungai Cibangka akan
banjir besar hingga makam itu terendam.
B.
Kisah ’’Makam Astana Gede ‘’
Disebelah barat daya Desa Sindangsari yakni didekat
pemakaman umum , terdapat segerombolan makam yang disebut ‘’
Astana Gede’’ ( makam para pembesar ). Menurut cerita, makam ini
adalah makam Demang Jakerti, Demang Kertajaya dan para leluhur
sindangsari lainnya.
C.
Makam Tiga Pahlawan Revolusi
Didekat kuburang Astana Cenggeh terdapat tiga buah makam
berjajar membujur dari Utara ke Selatan. Makam-makam ini adalah
pekuburan tiga orang Pejuang Revolusi pada Agresi Belanda ke-2 yakni
pada tahun 1947. Ketiga Pejuang tersebut adalah :
- Bapak Soja Soemintadipraja ( Ayah Penulis )
- Bapak Soeala ( Sahabat ayah penulis )
- Bapak Soekarya ( Petugas Kesehatan ciawi )
Mereka
ditembak mati di alun-alun oleh ‘’ID’’ ketika tentara Belanda
akan menyerbu markas Gerilyawan di Margasari.
BAB
IV
SILSILAH
PARA KUWU DESA SINDANG SARI
( Tahun 1699
sampai 2012 )
No
|
Nama
|
Masa Pemerintahan
|
Pusat Pemerintahan
|
1
|
Demang Jekerti
|
1699-1738 ( 40th)
|
Kubangsari
|
2
|
Demang Kerti Jaya
|
1738-1777 ( 40th)
|
Kubangsari
|
3
|
Kuwu Masdian (dari Cicebon Girang)
|
1977-1816 ( 40th)
|
Cikadu Kulon
|
4
|
Kuwu Kasdian
|
1816-1855 ( 40th)
|
Cikadu Kulon
|
5
|
Kuwu Sajong
|
1855-1857 ( 3th )
|
Cikadu Kulon
|
6
|
Kuwu Sajimun alias Candra Diraksa
|
1857-1924 ( 67th)
|
Cikadu Kulon
|
7
|
Kuwu Suladimta alias Sadian
|
1944-1930 ( 7th)
|
Cikadu Kulaon
|
8
|
Kuwu Sasmita Atmaja alias
Raksadimerta alias Kuwu Hanap
|
1930-1945
|
KedemanganWilanagara
|
9
|
Kuwu Djais Soemintadierdja
|
1945-1949
|
Sindangsari
|
10
|
Kuwu Moh. Sohari
|
1949-1966
|
Sindangsari
|
11
|
Kuwu D.Djana
|
1949-1979
|
Sindangsari
|
12
|
Kuwu Ujer Suhartono
|
1979-1999
|
Sindangsari
|
13
|
Kuwu Tarju al Muhtar
|
2000-2008
|
Sindangsari
|
14
|
Kuwu T Iya Rusdiana
|
2008-20..
|
Sindangsari
|
BAB V
PENUTUP
Demikian
Riwayat singkat ini kami susun agar bisa dijadikan sebagai bahan
bacaan bagi generasi muda. Besar harapan kami agar para penerus dapat
membangun Desa Sindangsari dengan penuh rasa cinta dan tanggungjawab.
Terimakasih
kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan Sejarah terbentuknya Desa Sindangsari.
Wassallam..